Waktu, Percayalah Padaku

   Aku siapa? Entah apa yang harus katakan. Bagaimana jika ku katakan aku adalah waktu yang pernah terbuang dengan sia-sia?
Hingga dengan samar-samar, segalanya berubah...
   Masihkah aku sang waktu yang berguna?

 
   Waktu yang sekarang ini adalah penting bagiku untuk mencari kebahagiaan, tak peduli kisaran kata orang yang mencibirku sebagai wanita yang tak tahu diri. Suatu hari, salah satu rekan kerjaku mendatangi meja kerjaku dan menyerahkan berbagai tugas.

   “Apa ini?” Jawabku dengan ketus.

   “Tugas punya mbak toh, mbak udah tunda berhari-hari, bos hampir saja memecat mbak loh.”

   Berani sekali bos mengatakan hal itu pada lelaki ini,  batinku kesal. Aku cantik, jabatanku tinggi, tak lain adalah asisten bos dan menjadi primadona di kalangan rekanku di kantor ini, tak mungkin bos melakukan hal ini padaku, pasti dia yang menjadi dalang di balik ini semua. Ah sudahlah, untuk apa aku bercengkerama dengan orang yang posisinya di bawahanku.

   Hari-hari kuisi dengan ketidakpastian, entah berapa kalinya teman dekatku berusaha menyadarkanku tentang hal ini, sampai akhirnya bos memutuskan untuk memberhentikanku. Aku cukup tegar menghadapinya. Aku pikir, lebih baik sekarang aku mencari pekerjaan lain saja yang layak buatku dan tak membuatku bosan.

   Aku keluar dari kantor bos dengan penuh keberanian, mungkin rekanku heran melihat tingkahku yang sangat cuek. Terpikir langkahku untuk mencari pekerjaan lain, batinku mengatakan aku masih sangat muda, bodoh saja hanya karena aku lupa mengerjakan beberapa pekerjaan, bos langsung memecatku.

   Langkahku terhenti pada satu perusahaan redaksi majalah yang di bagian depannya tertempel kertas lowongan kerja untuk editor. Aku segera memasukinya dan kulihat seorang wanita yang terlihat sangat berwibawa menyapaku.

   “Adakah yang bisa saya bantu?”

   Aku pun mengiyakan dan mengatakan bahwa aku ingin bekerja di perusahaan redaksi itu. Kebetulan wanita ini adalah manajer redaksi sekaligus HRD yang segera menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, untung saja aku sangat lancar saat menjawabnya. Bahkan aku pun berani jujur bahwa hari itu aku baru saja dipecat dari kantor lamaku.

   Ia hanya mengiyakan dan langsung menerimaku sebagai editor di tempat kerja itu.

  Tita, sebutan nama untuk wanita itu, ia perlahan mengubah cara pandangku tentang sebuah pekerjaan. Walau terkadang kebiasaan lamaku masih saja sulit kuubah. Aku masih suka menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

  Kesukaanku adalah clubbing. Tiap malam pasti aku mengajak teman-teman SMA-ku pergi ke bar hanya untuk minum segelas wine. Semalam bisa kuhabiskan banyak uang hingga pada akhirnya gajiku pun tak cukup memenuhi segala kebutuhanku. Aku mulai bingung.

  Malam itu aku kembali ke rumah dengan wajah sangat lesu, tidak ada minum alkohol sedikit pun. Tak sengaja kulihat ada Tita yang tersenyum padaku.

   “Dari mana dek?”

   Aku tersipu malu dan tak menjawab apapun. Langsung saja aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ternyata Tita tinggal di sebelah kamarku. Tak sadar aku pun langsung merebahkan badanku di atas tempat tidur, merenungi segala tindakanku selama ini. Aku sadar tapi kenapa aku tak berubah? Ibu pun sudah menyerah padaku. Maafkan aku, Ibu.

   Aku pun tertidur.
   Malam itu terasa tenang bagiku hingga ayam berkokok pun berlalu, aku terbangun. Saat membuka pintu kamarku dan ingin mandi, kutemukan surat kecil.

   Dek, maaf ya buat kemarin malam, mbak gak bermaksud ingin tahu urusanmu, tapi sengaja sekali mbak tidur malam dan berpura-pura keluar menunggu kamu kembali dan berharap bisa mengobrol sejenak denganmu tapi kamu mengabaikannya. Mbak sangat berharap kamu bisa berubah apapun yang terjadi. Ingat, waktumu masih panjang tapi waktu tak pernah menunggumu, jangan sampai penyesalan tiba di hari tuamu.
  Oh ya, uang kost kamu sudah mbak lunasi ya. 

  Aku terkejut melihatnya, kenapa Tita sangat ingin aku berubah. Padahal dia pun bukan siapa-siapa aku, hanya kenalan di kantor. Sejak itu aku berpikir untuk berubah.

  Saat di kantor,,
  “Mbak, makasih ya buat sarannya selama ini dan bimbingannya”
  Langsung kupeluk dirinya.

  “iya,dek, tak apa. Oh ya besok bisa temani mbak ke bandara? Mbak ditugaskan bekerja di luar negeri. Hari ini hari terakhir mbak kerja di sini.”

  “Kok mendadak sih mbak?” Jawabku sedikit kecewa.

   Hari ini adalah pertemuan terakhirku dengannya, entah hatiku seperti tak pernah tergugah untuk menyadari bahwa aku akan sulit bertemu dengannya lagi. Ingin rasanya aku membuat momen terakhir menjadi hal yang tak terlupakan untuknya tapi sayang dia buru-buru.
    Bagiku tak menjadi masalah jika kini aku menjadi sendiri lagi tanpa mbak Tita yang dulu selalu ada untukku tapi aku percaya berkatnya aku menjadi paham betapa pentingnya waktu hingga saatnya penyesalan berbuah manis dalam hidupku. Aku tak ingin ini terjadi lagi. Apapun yang terjadi, waktu adalah hal penting dalam hidupku.

------------------------------

Komentar

Popular one!