Pertemuan Kita ;) (cerpen)

        Telah lama aku tak mengunjungi kota ini. Kota pelajar yang telah banyak menyisakan kisah antara aku dan dia,
              kisah yang kuharap... dapat diukir kembali jika sendainya waktu dapat diputar.

                   ,,mungkinkah kisah itu akan kembali atau hanya sebatas anganku saja?

       Apa kabar dirimu di sana? Masihkah kau mengingatku, sahabat kecilku?" batinku....




15 Maret 2013

Perjalanan yang cukup melelahkan. 
  Aku berjalan pulang menuju ke kampung halamanku dengan sebuah tas ransel merah yang lumayan berat karena telah kutata dengan berbagai jenis oleh-oleh dari Jakarta, namun satu yang tak pernah kutinggalkan adalah syal yang sudah lama kubuat untuk seorang nenek tercinta. Kuingat beliau adalah seorang wanita yang tegar dan tak pernah kenal lelah lalu yang utama adalah ia orang yang membesarkanku saat ayah dan ibu sudah tiada sampai akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku dan bekerja di Jakarta. Ini juga kulakukan demi impianku dan untuk berusaha membantu nenek meringankan beban ekonomi yang kami alami. 

            dan kini aku merindukannya....




   Kebetulan siang ini hari aku cukup beruntung karena aku dapat segera meluapkan rasa rinduku pada nenek. Dengan mudahnya aku mendapatkan angkutan umum searah ke rumah nenek.
   Sepanjang perjalanan, kunikmati angin sepoi sepoi dan pepohonan meliuk liuk seakan terus menyapa akan kedatanganku di desa ini. Suasana pun masih terasa asri, membuatku ingin lekas kembali. Detik demi detik kenangan pun mulai merajuti pikiranku, inilah kenangan di desa yang begitu kunantikan..
   Aku meletakkan barangku di depan pintu dan menarik napas untuk sekali ini diriku lega telah tiba di depan rumah nenek. Belum sempat aku mengetuk pintu, aku pun mendengar suara panggilan yang kurasa tak asing lagi.

              "Dek Nita? Ini dek Nita kan? Masih ingat denganku?" Kata perempuan itu.

              "Mbak... Dewi, tetanggan nenek bukan?" Kataku agak sedikit canggung.

              "Iya , benar. Oh ya, nenek sudah tidak tinggal di sini lagi. rumah ini sudah sebulan                            yang lalu ditinggalkan."

              "Jadi siapa yang merawat beliau sekarang?" Tanyaku dengan perasaan yang mulai meresah.

          "Sekitar dua bulan yang lalu, ada seorang lelaki datang ke sini dengan membawa mobil mewah. Lalu anak saya bercerita ia melihat nenek keluar membawa tas yang mungkin berisikan pakaiannya, nenk pun diajak memasuki mobil. Setelah itu ia tak mengerti ke mana nenek pergi."Mbak Dewi pun bercerita.

          "Apa sudah mencoba melaporkan hal ini?"

          "Saya sudah melapor. Tapi menurut tetangga sini, nenek akan dirawat bersama keluarganya."

          Pikiran aku mulai tak tenang. Semua pasti tentang keadaan nenek. Aku hanya menyesali megapa dulu aku meninggalkannya. Seharusnya aku selalu ada buat beliau sampai kapanpun. Tak banyak waktu.. Otakku seakan memberi sinyal demikian. Pertama yang kulakukan adalah menitip semua barang di rumah tetanggaku, mbak Dewi. Untungnya ia mau memberi tumpangan untuk sementara.


16 Maret 2013
       Malam pun tiba saatnya. Aku sudah berusaha menghubungi ke mana-mana tapi hasilnya tetap nihil.

        "Sabar ya dek. Mbak yakin nenek baik-baik saja." Katanya menenangkan.


Keesokan harinya....
17 Maret 2013
      Telepon genggam pun berdering dan tertera di layarku, nomor tak dikenal. Siapa itu? Batinku berharap ini titik akhir dari pencarian ini... Semoga.

        "Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan saudari Nita?"

        "Ya. Saya sendiri. Ada apa ya?"

        "Kebetulan, apa Anda sudah tiba di Bandung? Saya tunggu Anda di depan rumah ibu Ratih."

      Apa mungkin nenek sudah ditemukan keberadaannya?
Perasaanku perlahan mulai melega. Aku pun menuju ke depan rumah nenek dan melihat ada seorang lelaki berjas hitam lalu aku pun bergegas menemuinya. Ia mengaku bahwa ia akan membawaku ke tempat di mana nenek berada. Aku agak sedikit ragu apa benar maksudnya ingin berbaik hati membantuku. Aku hanya menuruti apa katanya. Mungkin saja ini hal yang terbaik yang harus kulakukan bagaimanapun hasilnya nanti.

      Kami pun tak lama tiba di sebuah kantor dan tempat ini lumayan besar. Aku tak mengerti apa hubungannya kantor ini dengan nenek. Apakah nenek berada di sini? Aku hanya menerka dan berharap terjadi.

      Di sofa dalam bilik kantor itu kulihat seseorang yang sepertinya dahulu pernah kukenal. Dia...    

        "Rico, kau masih mengenal wanita ini?" Tanya lelaki itu kepada anaknya yang sedang berkutik pekerjaannya di komputer. 

      Anaknya pun langsung membalikkan badannya dan ia pun sedikit terkejut melihat kedatangan Nita.

       "Iya, dia.. Nita kok ayah.." Jawabnya dengan sedikit ragu.

       "Neneknya berhutang kepada kita dan sampai sekarang dia belum bisa bayar, kau tahu? Mengapa kau masih mengenalnya? Kita tak pantas bergaul dengannya. Ayah sudah susah payah menyekolahkanmu di Paris. Masihkah kamu kembali ke sini hanya untuk mencarinya?" Kata ayahnya dengan tegas.

      Aku hanya bingung tak mengerti. Ketidakjelasan membuatku merasa serba salah. Benarkah ia Rico? Sahabatku yang dulu kukenal? Tapi mengapa pertemuanku dengannya harus diawali dengan keadaan seperti ini? Dan sekarang,, aku tak mampu  lagi mendengar ocehan ayahnya. Air mata dapat lagi kubendung dan aku memilih untuk segera keluar dari kantor itu. Dari belakang kudengar Rico seakan mengejarku..

        "Tunggu, Nita. Kau masih ingat padaku? Aku sahabat kecilmu. Ingatkah janji kita bahwa kita akan berjumpa kembali setelah aku kembali dari studiku?"

      Memang kami dulu pernah memiliki janji bahwa suatu saat kami akan sukses bersama dan berjumpa kembali. Dia yang akan berjanji menemuiku di kota ini. Tapi akhirnya aku memilih meneruskan pendidikanku di Jakarta dan ia menuju ke Paris untuk mengambil jurusan bisnis yang sudah ia cita-citakan sejak kecil. Aku tak terlalu banyak berharap pada jurusanku, aku hanya berharap bisa mengambil pendidikan fisika untuk menjadi seorang guru. itu pun cukup bagiku.

     Kini semua telah berbeda. Pertemuan kami terasa tak berarti lagi dan keadaan yang mengubahnya menjadi kekecewaan. Aku pun hanya bisa diam dan terus melangkahkan kakiku tanpa peduli suara di belakangku. Namun itu tak membuatnya menyerah untuk membuatku bertahan di tempat.

       "Bisakah kau mendengarkan penjelasanku sekali ini saja?" Tanyanya memohon.

       "Tak perlu. Aku sekarang hanya ingin mencari nenek, bukan untuk mendengar kata-kata ayahmu yang tadi. Aku tahu aku tak memiliki apa-apa. Lebih baik biarkan aku pergi dan aku pasti akan melunaskan hutang nenek pada ayahmu. Maaf jika mungkin beliau berbuat demikian tapi bukan berarti ayahmu mengusir beliau dari rumahnya dan mengambil hak atas rumah itu." Jawabku dengan tegas.

       "Maaf, aku tak terlalu paham apa yang sudah dilakukan ayah pada kalian. Mungkin nenekmu sakit dan butuh uang saat itu. Kalaupun saat itu aku mengerti bahwa nenekmu butuh uang untuk pengobatannya, akan kuberikan uang hasil kerjaku. Beliau pasti sangat membutuhkan uang itu." Wajahnya menunjukkan penyesalan.

       "Aku tak punya banyak waktu untuk mendengar penjelasanmu. Aku hanya memohon padamu, bisakah kau memberitahu padaku di mana nenek sekarang?"

       "Maaf ayahku tak memberitahu soal ini?"

       "Jangan berpura-pura tidak tahu." Aku pun langsung meninggalkannya.

Tiga hari kemudian..
20 Maret 2013
     Di depan rumah mbak Dewi kutemukan sepucuk surat kecil dan seikat bunga mawar merah. Dalamsurat kecil itu bertuliskan.


              Sahabat kecilku,
              Aku menuliskan surat ini dengan bermaksud untuk membantumu menemukan nenek. Kemarin malam aku lembur di kantor untuk membantu ayah menyelesaikan pekerjaannya. Untungnya ia sudah kembali ke rumah lebih dulu. Tak lama kulihat berkas ayahku dan bertuliskan ibu Ratih beserta tempat tinggal sekarang.
              Beliau ternyata berada di panti jompo yang lumayan jauh dari kantor ayahku.
              Bisakah kita ketemu malam ini untuk membicarakan hal ini lebih lanjut?
              Aku ingin sekali bertemu denganmu dan sekaligus membicarakan hal ini. Aku
              tunggu kamu di kafe yang dulu sering kita kunjungi sepulang sekolah.
              Jam 19.00 aku udah tiba di sana. Kutunggu ya..°()°
                                                                                                              Rico.

Jam 18.30
    Hatiku terasa bingung apa sebaiknya aku tetap melanjutkan perjalanan ini ke kafe itu atau ga. Tapi setelah kupikirkan lebih lanjut mungkin sepertinya ini hal yang harus kulakukan demi menemui nenek. Aku datang dengan tanpa persiapan apapun, hanya dengan kaos biasa dan sepatu kets yang sudah memulai pudar warnanya. Sedangakn dirinya? Dia begitu rapi dan terlihat sangat tampan malam ini dengan jas yang ia kenakan seakan ia akan menghadiri acara formal.
   Saat aku tiba, ia menyapaku tapi aku tetap bersikap dingin terhadapnya juga termasuk saat ia menawarkan minuman apa yang ingin dipesan, aku tak begitu menanggapinya. Ia pun akhirnya hanya memesan dua gelas teh hangat karena aku tak memberi tanggapan.

    "Langsung saja ke pembahasan, aku tak punya banyak waktu." Jawabku.

    "Nenek kamu ada di suatu tempat dan besok akan kuantarkan kamu ke sana, bagaimana?"

     "Sekarang saja kau kasihtahu padaku, di mana alamatnya? Aku ingin pergi segera." Aku terus memaksanya untuk memberitahu.

      "Aku takkan membiarkanmu pergi sendiri. Ini sudah malam."

      "Tak apa. Tak usah pedulikan aku."

      "Sabar ya, aku janji besok akan antarkan kamu. Sekarang tak mungkin. Maaf, mungkin kamu masih kesal dengan sikap ayahku ya. Maaf juga , kalau ternyata aku..."

       "Ya sudahlah. Sudah berlalu. Aku pulang saja. Kutunggu besok pagi."

   Aku pun meninggalkan kafe itu. Tak lama...

        "Nita, sebentar. Aku akan mengantarmu pulang."

        "Makasih, tapi aku bisa pulang sendiri."Jawabku tanpa membalikkan sedikit pun posisi tubuhku.

         "Nita, aku..sayang kamu. Bisakah aku beri kesempatan kalau rasa ini lebih dari sekadar sahabat saja?"

     Aku pun terdiam. Perasaanku seakan menjerit. Mengapa orang seperti dirimu menyukaiku?

          "Maaf, mungkin kamu salah orang." Jawabku sambil menteskan air mataku lalu kuhapus segera.

          "Baiklah, kalau memang kamu tak percaya padaku, aku yang akan membuktikan ini semua. Aku duluan ya. Sampai jumpa besok pagi."

      Dia pun melesat pergi.

      Kenapa kata-kata itu harus ada di saat keadaan seperti ini? Di saat dulu perlahan aku mulai menyayangi dan merindukannya. Namun mengapa keadaan berbalik? Apakah kita tak pantas memiliki karena perbedaan kita? Atau mungkin cukup jadi sahabat saja dan tak perlu berharap lebih?

      Tak perlu. Cukup aku berangan-angan saja. 
      Ada hal yang lebih penting yang harus kupikirkan. Aku berusaha mengumpulkan uang hasil kerja kerasaku selama tiga tahun aku menjadi pelayan restoran di Jakarta. Uang ini akan kupakai untuk melunaskan semua hutang nenekku pada ayahnya Rico.


21 Maret 2013
     Paginya aku bertemu dengannya di depan rumahku. Lalu kuserahkan selembar amplop kepada Rico.

        "Rico, ini uangnya. Mungkin belum cukup tapi kurasa aku akan perlahan mencicilnya bulan depan." Kataku sambil kuletakkan amplop itu di tangannya.

         "Maaf, aku sepertinya tak membutuhkan uang ini. Aku ingin membantumu dengan tulus dan soal ayah biarlah aku yang mengurus. Serahkan semua padaku. Oke?" Jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

     Ia pun mengembalikan uang itu ke tanganku.
     

         "Aku serius aoal ini. ambillah. Nanti kau menyesal."

         "Aku takkan menyesal soal ini. Yang kusesali adalah saat aku tak bisa melihatmu tersenyum bahagia." Jawabnya sambil tersenyum.

      Sudah lama aku tak melihatnya begitu juga aku merindukan senyumnya yang dulu pernah kulihat dan kini hadir kembali.

          "Simpanlah uang ini untuk pengobatan nenekmu." Lanjutnya lagi.


Jam 10:00
     Sepanjang perjalanan kami hanya diam seribu bahasa. Ia juga pun fokus ke jalan yang ia tempuh.
Hanya selang sejam kemudian, kami pun tiba di panti jompo. Aku cukup heran mengapa ayahnya Rico memindahkan nenekku ke sini. Tapi aku pun tak peduli. Kini kulihat ada sebuah ruang kecil di mana ada nenek di sana sedang menyulam sebuah syal.

          "Nenek? Ini dek Nita." Langsung kupeluk dirinya dengan erat.

          "Cucu nenek?" Tanya nenek sambil menurunkan kacamatanya sedikit.

          "Iya, ini dek Nita, cucu nenek. Maafkan Nita ya nek."

          "Nita ga salah kok. Nita dengan siapa ke sini?" Bisa tahu nenek dari mana?"

          "Kebetulan Nita diantar dengan Rico, teman Nita."

          "Rico? Wah, dia anak yang baik. Dulu dia sering berkunjung ke rumah dan mau membantu nenek saat nenek sakit. Tapi sayangnya, nenek terpaksa berhutang pada ayahnya karena nenek tak punya uang lagi untuk membayar rumah sakit dan Rico tak mengetahui soal ini." Nenek pun menjelaskan semuanya.

          "Dia tidak tahu soal ini? Ya sudahlah. Yang penting sekarang nenek pulang ya sama Nita." Jawabku menenangkannya.

          "Tapi nenek belum bisa membayar hutang mereka, tak mungkin nenek kembali ke rumah itu."

    Tak lama..

          "Nenek ga perlu memikirkan hal itu. Anggap saja tak pernah terjadi. Semua sudah dilunaskan kok. Sekarang nenek sudah bisa kembali ke rumah nenek." Ternyata Rico sudah di belakang Nita.

          "Terima kasih banyak ya dek Rico. Maaf selama ini selalu merepotkan."

          "Tak apa, nek." Jawab Rico dengan ramahnya.


Kring... kring..
    Rico pun meminta izin untuk mengangkat teleponnya sebentar.

          "Maaf ya nek. Sepertinya Rico harus beranjak duluan karena ayah mendadak jatuh pingsan di kantor dan masuk ke rumah sakit. Dokter menduga beliau mengalami stroke." Wajah Rico berubah menjadi cemas.

           "Oh ya sudah, tak apa. Kudoakan semoga beliau cepat sembuh. Lebih baik kamu cepat menjenguk ayahmu. Kami tak apa. Nanti kami bisa pulang sendiri." Jawabku.

            "Nanti aku menyuruh asisten ayah untuk mengantar kalian kembali ya."

            "Dek Rico, apa sebaiknya kami juga ikut menjenguk ayah Rico?"

     Aku sedikit terkejut dengan permintaan nenek untuk menjenguk ayah Rico, tapi Rico hanya mengiyakan saja keinginan beliau. 


Sesampainya di rumah sakit..
    Aku dan nenek pun hening melihat Rico yang langsung menggegam tangan ayahnya. Di situ aku pun ikut berdoa. Berharap semua akan baik-baik saja.

           "Rico.. " Ayahnya memanggil perlahan.

           "Ayah, baik-baik saja?" Tanya Rico.

           "Ya, ayah baik-baik saja. Dokter bilang ayah bisa rawat jalan mulai besok dan ayah harus sering berkonsultasi ke dokter. Hmm.... Ayah sebenarnya ingin meminta maaf atas kesalahan ayah yang tega memaksa ibu Ratih untuk membayar hutangnya. Ayah sadar kalau ini takkan menyelesaikan masalah" Ayahnya menjawab.

           "Sudah, tak apa, ayah. Lebih baik istirahat dulu ya." Rico terus berusaha membuat ayahnya tenang.


28 Maret 2013
    Tujuh hari kemudian... Ayah Rico akhirnya kembali dari rumah sakit.

29 Maret 2013
     Rico mengajakku jalan setelah sekian lama kami tak menghabiskan waktu bersama. Tepatnya hari ini ulang tahun dia. Kuberikan ia hadiah gantungan kecil berbentuk panda. Dia juga ingin merayakan ulang tahun kali ini bersamaku sebelum ia kembali melanjutkan studi S2 ke Paris. 

           "Akankah kau kembali nanti?" Tanyaku dengan nada yang agak sedikit kecewa.

           "Iya, aku akan kembali untukmu. Sebelum aku berangkat besok, aku ingin memberikan sesuatu untukmu. Bisakah kau menutup mata sebentar? "

     Aku pun menutup mata.

           "Aku hanya bisa memberikan kado ini untukmu. " ia pun menunjukkan sebuah kalung hati lalu ia memasangkan itu di leherku.

           "Terima kasih, Nita. Aku harap kita akan bersama terus sampai kapanpun. Mungkin sekarang bukanlah saat yang tepat. Namun setelah sukses nanti, aku akan kembali untukmu. Wait for me."


     Di kota ini aku menunggumu, kota yang membesarkan kita dan yang menjadi saksi pertemuan kita dan kisah ini dimulai. Sepertinya awal yang berbeda untuk kita, namun berakhir dengan kisah penuh makna. 

     Aku mencintaimu seperti aku mencintai kota ini beserta kenangan antara kita. Jaga dirimu di sana.

   ....Pertemuan kita dan kebahagiaan kita telah dimulai dengan perjuangan yang berarti. ..
         

          

              





Komentar

Popular one!