Serpihan Kenangan Itu...


Sinopsis:
Kembali ke desa ini membuat pikiranku melayang
sementara di detik ini, aku tak lupa bagaimana pesona dan keindahan tiap sudut desa ini, desa yang menyimpan canda tawa masa kecilku.
Meminta hari sejenak untuk bernostalgia meluangkan hati ini yang perlahan mulai kosong sejak kenangan masa lalu itu tak lagi berdaya mengisi relungku ini.

Hai kamu, pelipur lara, hadirkah kamu di sini? Merindukanmu tiada arti seperti layaknya kenangan ini. Namun entah mengapa terbesit di benakku, aku lupa bagaimana mengubah bulir masa lalu yang pernah ada dan begitu kelam menjadi pasir putih yang tiada noda?

“Reza, ayo diminum tehnya!” Panggil Mbok Yem saat aku telah selesai mandi. Sejak kepulanganku dari Surabaya ke desa Wonosari ini, Mbok Yem selalu siap melayani keperluanku. Ia memang pembantu yang setia dan sudah hampir 20 tahun bekerja di sini.

Aku keluar dari rumah menuju ke serambi hanya sekedar duduk-duduk dan melihat sekelilingku, kukenakan baju lengan panjang dan celana pendek bergaris hitam putih.

“Wah, Nduk, kebiasaanmu tak pernah berubah ya sejak dulu. Selalu pakai celana pendek. Kan cuaca dingin sekali.” Protes Mbok Yem dengan logat Jawanya yang khas.

“Gak apa-apa. Sing penting ada secangkir kopi aja cukup kok.” Aku terkekeh.

“Ibu ke mana, Mbok?” Aku melanjutkan.

“Tadi ke warung sih, katanya mau ambil uang hasil jualan kue.”

“Tolong sampaikan ke Ibu, aku pergi bentar keliling desa ini.”

Hari ini aku berniat berkeliling dengan sepeda milikku saat aku memenangkan perlombaan dulu. Setelah selesai menyeruput kopi hingga habis, aku pun pamit pada Mbok Yem untuk membawa sepeda selagi langit masih cerah.

Aku mengitari seisi desa ini dan melihat banyaknya anak kecil yang berlarian ke sana sini, ada sebagian yang bermain karet, mengunggahku untuk mengulang kembali masa remajaku di sini.

Teringat di saat aku mandi di sungai dan pulangnya aku dan teman terbaikku, Otong, kehausan. Kami berniat mengambil mangga Pak Haji yang sudah mengkel dan kebun itu pun tak jauh dari sungai Oyo.Otong segera memasang tubuhnya di bawah pohon sebagai sandaran untuk kunaiki. Tubuhnya yang tak sedikit bongsor dengan tinggi melebihi 170 cm tak membuatku ragu untuk mulai melangkahkan kakiku ke atas tubuhnya.

“Otong, kamu jagain di bawah ya. Matanya lihat ke kiri kanan aja. Gak usah lihat ke atas. Aku bisa ambilkan buatmu nanti. Kalau ada bapaknya, segera panggil ya.” Aku berusaha mengelabuinya.

“Ya udah cepetan, nanti keburu ketangkap basah kita.”

Di atas pohon kuhabiskan waktu untuk menyantap beberapa mangga lalu ku hanya sisakan sepotong mangga ynag sudah mulai bonyok untuk kubagikan kepada Otong.

“Oh, nikmatnya.” Dalam hatiku.

Di kampungku aku terkenal sebagai lelaki pemanjat ulung. Sepeda yang kubawa ini adalah hasil perjuanganku di acara tujuhbelasan saat ada lomba panjat pinang. Sebagai bagian dari Taruna Muda di kampungku, aku selalu menyiapkan waktu jikalau dibutuhkan untuk dipersiapkan sebagai peserta lomba dalam acara di kampungku ini. Tiada rasa takut bagiku, yang ada hanyalah rasa bangga. 

Hadiah yang kudapatkan lalu kubawa pulang dan menunjukkan pada ibu. Ada rasa kecewa di wajah Ibu. Terpikir olehku untuk bertanya, apa karena aku tak bisa mendapatkan penanak nasi baru yang ada di atas pohon pinang itu atau mungkin barang lainnya.

“Ibu mau aku dapetin barang lain ya?”

“Terserah kamu, Nduk, aku sudah pusing ngurusi bocah kayak kamu ini. Ngapain hujan-hujan gini masih panjat pohon? Besok itu ujian. Kamu sakit, gimana bisa ngadepin ujian kamu besok?” Ibu mengoceh.

“Sekali-kali, Bu. Nanti malam aku belajar buat besok hari. Lagian ujiannya kan gampang, Bu.”

“Tau dari mana? Kamu ngarang aja.Sana, belajar!” Ibu membentakku. Untuk kesekian kalinya ibu makan hati padaku, aku tak sadar melakukannya berulang kali hanya demi kesenangan sesaat saja.

Aku memasuki kamar lalu merenung. Ada rasa keinginan untuk menyentuh buku yang hanya tergeletak di pinggir ranjang kamarku, tapi rasa penasaranku belum hilang jika belum bermain di luar. Aku bingung, setiap melihat apa yang kutulis di buku itu, semua menjadi terasa aneh. Aku mulai mengantuk. Aku harus keluar menemui Otong. Langsung kututup bukuku dan diam-diam kuterobos jendela yang ada di kamarku dengan bermaksud ingin segera menarik sepedaku keluar.

Tidak ada kesulitan yang kurasa untuk kabur dari kamar karena jendelaku berongga besar dan pagar pembatas pun sudah mulai rapuh. Kukayuh sepeda menuju ke jalan yang terbentang luas di depan rumahku.

“Otong, Otong!” Aku memanggilnya sekeras mungkin saat berada di depan rumahnya. Rumahnya tak jauh dari rumahku tapi aku bisa bebas mengajaknya bermain karena ibunya kebetulan tak ada di rumah, sedang mengikuti arisan di kampung sebelah.
“Tunggu! Aku ganti baju dulu ya.” Aku pun duduk di depan rumahnya sambil memikirkan berangan-angan dan anganku saat ini adalah pada masa depanku , entah mengapa sejak dimarahi ibu kemarin, aku merasa ada perasaan yang tak enak menghantuiku, apalagi saat Ibu tahu aku dekat dengan Otong dan perilakuku semakin menjadi. Aku tak mempedulikan apa mau ibuku. Otong tetap sahabat terbaikku. Aku sudah malas memikirkan gambaran masa depanku suatu hari nanti, aku yakin ini bukanlah hal yang pantas aku pikirkan.

“Ayo kita berangkat! Kamu melamun aja.” Otong tiba-tiba keluar dengan gaya pakaiannya yang keren, tumben hari ini ia memakai kemeja seperti ingin ke acara formal saja.

“Gimana gayaku?” Otong melanjutkan. Aku hanya memendangi dari atas rambutnya hingga ujung kakinya, segalanya terlihat sempurna kecuali kerah bajunya yang ia lupa rapikan.

“Tuh..” Aku menunjuk pada kerah bajunya.

“Ah sedikit.”

“Memang mau ke mana kita?”

“Ayo kita pergi ke pesta temanku hari ini, ia berulang tahun. Ada teman-teman yang ingin kukenalkan padamu. Salah satu kawan sekelasnya ultah hari ini.”

Kami pun berangkat dengan menggunakan sepedaku. Lima belas menit berlalu, kami pun tiba di acara pesta itu.

Otong yang melihat grup gengnya datang, ia pun segera menghampiri mereka yang sedang bersantai-santai di meja makan. 

“Hei, Bro, makan aja kerjaannya kalian ini. Perkenalkan ini teman sekelasku, Reza.”

Aku hanya diam menatapi rumah orang yang berultah itu. Kuyakin pasti ortunya sangat berada, kulihat tiap sudut rumahnya banyak sekali pernak-pernik dan keramik yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

“Siapa yang ultah?” Tanyaku penasaran.

“Itu orangnya. Kamu kenalan aja. Setiap tahun dia pasti ngerayain ultahnya dan mengundang teman-temannya.” Otong menjelaskan.

Mataku tak bisa berpaling dari apa yang kulihat barusan. Parasnya yang begitu manis dan mempesona dengan tinggi semampai, kulihat senyumannya yang begitu renyah hadir saat aku memandanginya. Bajunya yang dipakai pun cukup membuat ia menjadi perhatian khalayak orang yang menghadiri pesta itu, bajunya yang berwarna merah darah, sedangkan aku tidak siap apa-apa.

“Hei, kamu bengong aja! Dari tadi kamu lihatin dia. Udah, kenalan aja!” Otong menarik tanganku. Aku pun mengikuti Otong.

“Salam kenal ya, aku Reza, temannya Otong. Selamat ultah ya.” Aku memberikan tanganku untuk pertama kalinya pada seorang wanita.
“Iya, terima kasih ya. Namaku Rini.” Rini membalas salam dariku. Jantungku berdebar tak menentu. Aku harap hanya cukup mengaguminya saja karena Ibu pun belum mengizinkan aku untuk berpacaran. Mungkinkah saat ini aku mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya?

Acara terlihat meriah. Waktu begitu cepat berlalu saat akhirnya Otong dan kawan-kawannya memutuskan untuk pulang.

“Tunggu sebentar!” Rini memanggil rombongan kami saat melangkah pergi.

“Ini ada foto-foto barengan tadi. Aku mau bagikan buat kalian.” Rini membagikan foto-foto itu pada masing-masing dari kami.

“Eh iya, makasih ya.” Juki, salah satu geng itu angkat suara.

Kami pun melanjutkan perjalanan.

“Hei, Reza! Kamu mau gak jadi bagian dari grup kita?” Juki berbicara.

“Gak usahlah, aku pengen fokus sama sekolah dulu.”

“Halah, sekolah, sekolah. Ngerjain PR aja malas.” Otong memotong.

“Bakal aku buktikan kok. Aku duluan ya.” Aku pun pulang dengan sepedaku.

Aku pun masuk ke dalam kamar dengan menyelinap melalui jendela. Aku berasa sangat lelah, ingin rasanya segera merebahkan badan. Tapi rasa lelahku hilang saat melihat foto ultah tadi. Di sana Rini terlihat begitu cantik. Aku hanya bingung mengapa seorang Rini ingin berteman dengan geng mereka, yang sedikit aneh dan nakal.
 
Aku melanjutkan kegiatanku sebelum tidur dengan mengerjakan PR dan besok akan kubuktikan pada Otong, aku akan berubah, tidak seperti yang ia bilang.

Esok paginya…
“Otong, kamu udah buat PR?” Tanya Sita, salah satu kawanku yang gelisah karena terlambat datang.

“Kenapa? Kamu mau lihat? Aku lupa sih hehehe.” Otong menjawab dengan ringan.

“Nih, lihat punya aku aja.” Aku langsung menyodorkan PR fisikaku.

“Wah kesambar kata-kataku kemarin ya. Seorang Reza membuat PR, bisa menggemparkan dunia!” Otong begitu hebohnya.

“Biarin aja dia buat PR, dibanding kamu, malas.” Sita pergi dengan membawa PR aku. Untung saja guru belum datang saat itu.

“Eh iya, nanti Juki mau ketemu ma kita. Mau diajakkin main katanya.” 

“Gak ah, aku capek.” Jawabku enggan pada Otong.

“Ikutlah, temani aku.” Aku hanya mgniyakan saja keinginan Otong.

“Ehh, mau ke mana kalian?” Sita penasaran.

“Ya, anak cewek gak usah ikutan ya.. Kamu mah belajar aja di rumah, bantu masak ya. Nanti masakkin aku yang enak-enak.” Otong melanjutkan.

“Huh…” Sita mengeluh.

Sepulang sekolah…
“Kamu bawa terus tuh foto?” Otong bingung melihat perubahan sikapku hari ini.

“Iya, buat kasih semangat terus ke aku.” Aku memegang foto itu lalu kumasukkan dalam kantong baju seragam putihku. Aku pun berjalan dengan hati yang berbunga-bunga dan tak lama tiba di tempat Juki.

“Kalian sudah siap?” Juki menyambut kami dengan antusias.

“Kita mau ngapain?” Aku bertanya dengan polosnya.

“Mau main taruhan.” Juki melanjutkan.

“Wah aku pasti kalah, kayanya aku gak ikut main deh. Biar kalian aja yang main.” Perlahan tapi pasti aku curiga dengan permainan berbau rahasia ini. Aku tak paham apa maksud dari permainan ini.

“Eitsss, gak bisa. Yang sudah masuk lingkungan ini, mau menang atau kalah tetap harus main. Kalau mau keluar boleh, asal… bayar dulu.” Juki menunjukkan uang selembar seratus ribu.

“Bayar dengan apa? Aku gak punya uang.” Aku kebingungan karena merasa menyesal mengikuti keinginan Otong ke sini.

“Ya udah, ikut main aja deh, nanti aku ajari.” Otong berbisik padaku.

Aku panas dingin tak menentu, rasanya ingin keluar dari jebakan itu dan berteriak meminta pertolongan tapi tak mampu karena banyaknya orang yang berjaga di luar sana. Aku hanya berdoa dan menyiapkan hati  untuk menunggu apa permainan mereka selanjutnya. Benar apa kata Ibu selama ini, aku terlalu percaya dengan Otong dan kawan-kawannya.

Aku bermain bersama mereka seperti layaknya permainan judi. Lima kali bermain, aku pun menang. Juki yang panas dan geram melihat kemenanganku, tidak terima, ia lalu menyuruh seluruh anak buahnya untuk memukuliku juga Otong yang juga menang sebanyak tiga kali.

“Kamu curang ya.” Juki melayangkan kepalan tangannya di keningku. Aku pun pingsan.. Sekita sejam berlalu, aku tersadar dari pingsanku, sakit yang kurasa sangatlah perih termasuk hati ini saat tahu aku tergeletak di rumah sakit dan kulihat di sampingku ialah ibu yang terus saja menangis.

“Nak, kenapa bisa seperti ini? Untung saja ada wanita baik yang mau menolongmu dengan jasa mobilnya membawakanmu ke sini.” Tangis ibu terus memecah keheningan ruang kamar yang kecil itu.

“Siapa, Bu?”

“Dia Rini.” 
Ternyata Rini….

Selama seminggu aku dirawat dan akhirnya aku pun sembuh. Ibu berharap aku tak berada di desa ini lagi. Ibu mengirimkanku ke paman yang ada di Surabaya. Bermaksud ingin memasukkanku ke sekolah lebih baik di sana. Sejak saat itu aku tak pernah melihat Rini lagi dan rasanya ingin mengucapkan terima kasih walau mungkin Rini tak ingin melihatku lagi. Biarkan sekali saja, bisakah?

Dan kini…..

Sepuluh tahun berlalu, tantangan keras dan makna hidup telah kupelajari di Surabaya. Aku kini kembali hanya ingin sekedar tahu kabar keluargaku dan juga teman-temanku terutama Rini. Ternyata kini Otong dan gengnya sudah tak lagi tinggal di kampung ini, Rini, dia sudah menikah dengan pengusaha terkenal di desa itu. Aku belum sempat menjelaskan dan bertemu dengannya. 

Aku melanjutkan sepedaku menuju tempat lain setelah puas melihat anak-anak bermain. Lalu kumelihat seseorang terjatuh dari sepedanya. Langsung saja kubantunya untuk berdiri.

“Reza?” Wanita itu menatapku, masih saja tak kulupa tatapan wajah itu.

“Rini? Akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama tak berjumpa.” Aku melanjutkan.

“Kamu baik-baik aja selama ini? Hmm..” Rini seakan meragukanku.

“Maksudmu aku masih bandel ya. Aku udah tobat kok.” Aku tertawa.

“Eh iya, aku buru-buru ya. Ada urusan soalnya di kantor kelurahan. Makasih ya udah nolong aku, sampai jumpa.” Rini pun beranjak pergi dengan sepedanya.

“Iya, sama-sama. Makasih juga ya untuk pertolonganmu dulu. Semoga kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti.”

“Aku gak janji yah. Soalnya aku bakal pergi ke luar kota besok dan menetap di sana. Ini kontakku, kalau ada apa-apa atau kamu mau mengunjungiku di Bandung, kamu bisa menghubungiku ya.” Rini lalu mengkayuh sepedanya dan menghilang.

Dan kini aku terlambat lagi untuk menjelaskan segalanya termasuk isi hatiku yang sampai saat ini masih menyimpan namanya di lubuk hati terdalam. Pada akhirnya aku tak bisa berkata apapun karena Rini sudah terlanjur kecewa padaku dan memilih berpaling pada orang lain yang jauh lebih baik dariku.

Kenangan itu superit luka, tapi perlahan aku akan mencoba menyembuhkannya walau perih, memperbaikinya walau ia hanyalah sisa dari masa lalu. Yang kini bisa kupahami, hanyalah belajar dari pergaulan saat dulu, bagaimana aku tidak menuruti nasihat ibuku dan malahan tidak peduli dengan masa depanku.
Aku hanya terus berharap… Masa lalu biarlah pergi bersama kenangan itu..


Beatrix Intan Cendana

15 Maret 2015

Komentar

Popular one!