Apakah Roda Selalu di Atas? #cerita

  "Ibu, apakah nasib atau takdir itu sulit diubah?" Tanyaku,
Katia, seakan penasaran dengan hal ini.
  Ibuku hanya tersenyum saat mendapati pertanyaan yang acapkali kutanyakan di saat aku duduk di serambi depan rumah kecilku.
  Pertanyaan yang tak pernah ku pungkiri saat di masa kecilku ini membuatku selalu ingin tahu akankah ada suatu keajaiban mengubah keadaan keluargaku menjadi lebih baik nantinya.

Andai aku kaya, aku bisa membelikan rumah yang lebih bagus dibanding rumahku saat ini, ada kebun dan bertingkat. Andai aku mempunyai uang, aku bisa bahagia walau hanya tinggal bersama ibuku.

Suatu saat ibuku menyadarkanku saat aku beranjak dewasa bahwa kaya uang atau materi bukanlah hal yang kita inginkan selama hidup di dunia ini, asalkan mencukupi dan bahagia, terbebas dari masalah, kita sudah kaya batin dan ini lebih baik. Entah mengapa aku masih tak paham apa yang beliau maksud.

Cerita bermula saat aku menyelesaikan perguruan tinggi di kota A walau aku tak puas dengan hasil transkrip yang kudapatkan dan terkadang aku minder untuk memulai lembaran baru dengan bekerja di perusahaan besar yang merupakan cita-cita yang kuinginkan sejak kecil karena alasan gaji yang besar. Namun apa daya yang kuterima, aku hanya bisa bekerja di luar jurusanku sebagai jurnalis. Kini aku bekerja sebagai bagian administrasi di perusahaan pemerintah di kotaku. Ada kala aku ingin menyerah karena gajinya tak seberapa untuk menghidupi ibuku. Kadang ku berpikir andai ayah masih ada, mungkin kami akan tercukupi. Tapi ayah telah tiada sejak aku masih kelas 5 SD.

Setiap hari aku bekerja keras tapi tetap saja belum bisa mencukupi segala kebutuhan rumah tangga. Ibuku masih suka berhutang saat membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Aku tak menyarakan ibu bekerja sejak beliau sakit-sakitan. Aku dengan pedenya beranggapan bahwa aku mampu menjadi tulang punggung keluarga.

Hingga akhirnya aku terpikirkan untuk melamar kerja di beberapa tempat lagi tanpa sepengetahuan ibu. Sebenarnya ibu akan kecewa kalau aku terlalu menjadi pemilih dalam urusan bekerja. Memang untuk lulusan baru gaji tak sebesar yang kuharapkan.

Tiba saatnya waktu interview di mana dengan perasaan tak menentu, aku terus berdoa agar kali ini aku bisa mendapatkan pekerjaan yang tetap dengan gaji yang sesuai. Tapi kekecewaan kembali melanda di saat mengetahui bahwa persaingan untuk bekerja di perusahaan besar benar-benar ketat.

Aku pulang dengan wajah sedih namun ku berusaha untuk tak menunjukkan pada ibu. Ibu menyambutku dengan penuh suka cita dengan memasakkan ikan goreng dan sayur bayam. Kami pun sempat mengobrol tentang hari itu. Aku tak menyangka aku terceplos dengan berkata bahwa aku bolos kerja dan hanya fokus untuk melamar kerja lagi.

"Nak, hidup itu bukanlah hal instan. Bayangkan, memasak yang enak saja butuh waktu yang tak sebentar apalagi untuk bekerja. Bagaimana kalau kamu terus melamar dan akhirnya tetap saja ga sesuai karena di pikiranmu hanyalah gaji?"

Aku tertegun.
"Ta...pi... Bu, kita butuh uang lebih buat kehidupan kita."
"Tenang saja, Ibu bisa membantu kamu untuk mencari uang juga."
"Ibu tak perlu. Maafkan aku Bu tak bisa mencukupi keluarga kecil kita." Aku menangis di pangkuan Ibu.

"Ibu bisa menebak kalau kamu takut dilecehkan sama saudaramu, bukan? Karena kamu tidak kaya."

"Hmm iya itu salah satunya. Andai saja roda bisa cepat berputar ke atas, mungkin kita sudah berhasil melunasi hutang-hutang kita dengan saudara kita itu."

Sejak itu, aku tak lagi melamar kerja. Karena kupikir sebaiknya aku fokus ke masa sekarang yang pasti suatu hari akan berpengaruh ke masa depan aku dan Ibu. Demi sesuap nasi dan hutang di luar, aku berusaha sebaik mungkin untuk bekerja walau aku tidak menyukai pekerjaanku ini.

Suatu hari...
"Katia, aku ada dapat lembaran ini nih..." Salah satu rekan baikku, Tina, menunjukkan sesuatu yang mungkin akan mengubah jalan hidupku.
Ya, benar. Itu adalah pamflet audisi untuk pemilihan jurnalis terbaik.

"Makasih, Tina! Aku tak sabar memberitahukan ibuku segera." Aku bergegas pulang dengan hati yang senang. Tina hanya menggeleng karena tak paham dengan Katia.

Sepulang aku ke rumah, aku tak sabar memeluk ibu dan menyampaikan kabar gembira ini.
"Ibu, doakan aku, aku pasti berhasil melewati audisi jurnalis ini!"

Aku pun mengisi formulir dan mempersiapkan diri untuk menjadi jurnalis. Aku tak ingin kalah dan kali ini aku pasti bisa menjadi terkenal dan membantu ibu membereskan hutangnya.

Waktu-waktu yang ditunggu pun tiba. Aku berhadapan dengan juri dan mendapatkan tugas untuk ber-akting di depan kamera sebagai jurnalis berita. Tema yang kali ini kubawakan adalah mengenai kampanye kesehatan. Walau terasa gugup, tapi untung saja aku mampu menyelesaikannya dengan baik.

Aku bersyukur mendapatkan kesempatan untuk menghadiri kompetisi ini.

Seminggu kemudian, aku mendapatkan berita bahwa aku berhasil masuk sebagai pemenang dan aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja dengan perusahaan mereka. Ibu tak kuasa menahan air mata saat mengetahui diriku berhasil melaluinya dan sukses.

Sejak itu aku percaya, kesabaran berbuah kemenangan dan selama roda di bawah, aku harus tegar karena tak selamanya diriku akan ada di sana. Ada tiba saatnya aku berhasil karena buah perjuanganku :)


Minggu, 25 Maret 2018.

Komentar

Popular one!