Kisah Kue Dadar dan Seorang Ayah


Mungkin kisahku tak begitu menarik untuk dipahami, dari judulnya saja terlihat meragukan. Namun aku menyimpan kisah terdalam di baliknya..

Apakah jika hari ini masih bisa kulukis kasih di pikiranmu, Ayah?
Terlintas olehku, sebuah cinta yang begitu hangat tercurahkan di wajah dan hatimu yang nan lembut.

Kerut di keningmu menandakan kesetiaan yang terpaut hanya untukku..
Terima kasih, Ayah..

Kisahku Dimulai..
Sedikit bertolak ke masa laluku saat aku membantunya berjualan kue dadar di warungnya. Ayah hanya sedikit bergumam,
“Baiklah kali ini Ayah akan mengajarimu cara membalikkan kuenya dengan cara yang benar di teflon ini.” Ayah memegang tanganku dan ku hanya perhatikan peluh keringatnya yang mengalir tiap saat aku menatapnya.

Aku hanya menatap nanar dan sedikit bingung apa yang Ayah peragakan. Hal yang membuatku tak paham mengapa Ayah mau bersusah payah menuju ke kota dan berjualan kue dadar gulung yang harganya tak seberapa. Ayah hanya meyakini inilah mata pencaharian terbaiknya. Ia tahu bagaimana harus berjuang bekerja demi menghidupi keluarganya dan kenyataannya seringkali berbeda dengan apa yang kulihat. Ayah mau saja terkadang memberi kue dengan percuma kepada orang-orang yang tidak mampu di sekitarnya. Ia tak memperhitungkan berapa kerugian yang dialami, baginya berbagi adalah sebuah keharusan.

Sejak aku pulang sekolah aku sudah membantu Ayah bekerja hingga malam menjelang. Namun sebelumnya aku kembali ke rumah dan mulai memasakkan makanan kesukaan Ayah, Mun Tahu, yang biasanya sang Ibu selalu setia menyiapkannya saat ia masih hidup, Ibu menderita penyakit keras saat aku berumur 2 tahun. Saat itu Ayah benar-benar terpukul dan aku pun turut sedih, tak tahu bagaimana cara menghibur Ayah. 

Perlahan Ayah pun bangkit dari kepiluan yang melandanya, ia mulai membangun dirinya layaknya masa lalu dijadikannya kekuatan dalam menjalani kisah yang saat ini. Ia merangkap menjadi penjual kue sekaligus mengurusi rumah. Baginya hal ini bukanlah sebuah kebosanan tapi adalah sebuah tantangan baru bagaimana juga saat dia mendidik aku hingga aku menjadi orang yang sukses.

Mengejar Beasiswa
Musim kering pun tiba di mana sulit mendapatkan air yang biasanya melimpah di sungai. Ayah yang sudah mengetahui gejala ini sejak awal, ia sudah menyiasati berbagai hal. Ia menyiapkan air sebanyak mungkin agar bisa dipakai sendiri dan jika ada lebih, ia bagikan ke tetangga. Aku sangat beruntung memiliki seorang ayah yang berhati mulia. Aku pun ingin berusaha sepertinya.

Ayah pun tak berharap aku terus membantunya mencarikan air ataupun membantunya di warung, baginya aku harus mengutamakan pendidikan. Ia ingin agar aku bisa memiliki topi toga di kepalaku, harapannya begitu besar tertanam untukku. Terkadang aku tak tega membiarkannya bekerja sendiri, maka dari itu aku bersikeras membantunya dengan berjanji tak melupakan tugasku sebagai pelajar. Aku biasanya selalu membuat tugas rumah di warung saat warung mulai sepi atau saat Ayah sedang menghitung uang hasil kerjanya seharian.

Uang yang terkumpul biasanya ia sisihkan beberapa untuk kebutuhan sehari-hari dan sisanya ditabung untuk keperluan sekolahku. Apalagi tidak lama lagi aku akan menyelesaikan SMA-ku di kota ini. Entah aku tak tahu apakah Ayah akan berat jika suatu hari akan merantau ke kota lain. Ternyata ada satu hal yang membuatnya yakin. Aku pasti mendapatkan beasiswa hingga impianku benar-benar dekat, hanya ingin menjadi seorang insinyur teknik industri yang hebat.

“Kamu harus yakin yah, Nak.” Ayah menyemangatiku dengan wajah sumringahnya.

Selama seminggu aku menanti pengumuman mengenai penerimaan beasiswa di universitas negeri favoritku, tapi kian lama semakin tak kunjung tiba pengumuman yang kuharapkan berhasil ini. Hingga akhirnya menjelang ujian, aku menemui kepala sekolahku untuk menanyakan hal ini.

“Kawanmu yang lain sudah dapat kok. Kalau lewat dari tanggal kemarin artinya belum beruntung.”

“Jadi saya belum dapat yah?” Wajahku murung.

“Kamu coba lagi ya, Raka. Semangat.” 

Aku pulang dengan rasa kecewa dan tak bisa lagi menangis. Perasaan sedih kian tak bisa lagi dibendung. Aku seakan layu, berharap Ayah tak mengetahui lebih dulu mengenai ini. Takut membuatnya terluka. Hari ini kuputuskan untuk tak membantu Ayah dulu, aku hanya melamun dan duduk di beranda rumahku yang hanya beralaskan dipan kayu.

Pada malam harinya Ayah pun kembali dan melihatku sudah tertidur di kamar. Maksud Ayah yang awalnya ingin menanyakan mengenai hasilnya pun diurungkan olehnya. Aku terlanjur sedih dan akhirnya aku berpura-pura tidur untuk berusaha menghindari pertanyaan rumit ini.



Maafkan aku , Ayah….

Aku benar-benar terpukul… Aku harus mengatakannya, aku tak ingin bersembunyi seperti ini, biarkan ia kecewa saat ini daripada nantinya.

“Ayah?” Panggilku saat ia ingin keluar dari kamarku.

“Iya, Nak, kamu sudah tidur ya? Maafkan Ayah mengganggumu.”

“Tidak, Ayah, maafkan Raka. Raka telah mengecewakan Ayah.”

“Maksudnya apa, Nak?”

“A..ku.. ta..k mendapatkan beasiswa itu.” Ayah langsung mendekatiku dan memelukku.

“Sudah, tak apa, yang penting kamu sudah berusaha. Bagaimana kalau mendaftar di tempat lain saja?”

“Tapi, Yah, kita tak punya uang banyak untuk sekolah di tempat lain.”

“Pasti ada jalan. Kali ini ada perguruan tinggi swasta pastinya yang mau menerimamu.”

Kata-kata Ayah sedikit menenangkanku. Mulai saat ini aku segera siapkan berbagai dokumen untuk mendaftar di tempat lain.


MENDAPATKAN TEMPAT
Dalam jangka waktu sebukan dalam penantian hasil, aku masih saja intensif membantu Ayah sambil mempersiapkan UAN yang sudah di depan mata. Tiada waktu untuk memikirkan apakah aku lolos atau tidak nantinya. Hanya doa kali ini setelah berusaha untuk memperbaiki nilai-nilaiku. Ayah juga begitu antusias mendukungku.

“Selamat ya, Raka. Kamu diterima. Ini surat dari universitas yang kamu tuju beserta bayaran lengkap yang harus kamu bayar.” Kepala sekolah menyerahkan seamplop surat. Sepulang sekolah aku langsung memberikan ke Ayah di kios tanpa sedikitpun aku membuka bungkusan amplop tersebut lalu aku segera kembali ke rumah untuk memasak. Setelah selesai memasak dan belajar, aku pun kembali ke kios. Hari ini kios tak begitu ramai. Ayah pun terlihat sedikit kurang sehat.

“Ayah tak kenapa?”

“Tak apa. Kamu belajar baik-baik ya di universitas nanti. Semua biaya administrasi sudah Ayah lunaskan.”

Dari mana Ayah mendapatkan uang untuk membayar kuliahku?

“Sudah tak apa, tenang saja.” Ayah menjawab keraguan dari raut wajahku.

“Minggu depan artinya aku akan berangkat ke luar kota ini.” Aku tertunduk sedih.

“Tak usah khawatirkan Ayah. Ayah bisa menjaga diri.” Ayah berbicara dengan nada yang agak parau.

“Ayah, boleh aku mencoba memasak dadar gulung?” Kualihkan pembicaraan. Kali ini Ayah membiarkanku membuat sendiri. Tak sadar, air mataku mulai menetes. Aku sedih jika berpisah dengan Ayah suatu hari begitu juga dengan kios yang menyajikan dadar gulung yang telah memulai kisahku sejak lama.

“Taraaamm, jadi. Ayah, ayo cicipi.” Aku bangga dengan hasil karyaku kali ini.

“Terima kasih, Nak.” Ayah mengelus kepalaku.
“Kapankah aku bisa membuatkan Ayah dadar gulung seperti ini?” Aku menatap lesu piring yang berisikan kue.

“Setelah kamu menyelesaikan semester satumu, kembalilah.”


SEKOLAH
Aku berjanji dalam hati akan segera kembali. Tiba saatnya waktuku membereskan berbagai keperluan untuk segera berkuliah. Ayah tak lupa membawakan bekal kecil berupa biskuit, nasi sayur asam serta dadar gulung buatannya. Tak lupa juga ia memberikanku jaket dan syal.

Saat melihat itu semua, ada perasaanku tak ingin beranjak pergi. Sampai tiba Ayah berujar,

“Pergilah, aku tetap menantimu di sini, Nak.”

“Aku berjanji akan mengirimkan Ayah surat atau kabar sesering mungkin.”

Ayah memelukku saat akan menaiki mobil. Bersiaplah diriku bersama pijakan kaki ini menuju ke kota lain, membuka ruang baru untuk mimpiku.

Sesekali aku melirik bekalku yang disiapkan oleh Ayah, teringat olehku betapa rasa rindu ini memuncak perlahan di kala seperempat perjalanan kulalui. Mulai petang ini kulalui tanpa sang Ayah, tanpa warung yang menemani setiap hariku.

Lambat laun hari pun terus berganti, aku adalah calon mahasiswa baru yang sudah resmi mendapatkan kursi di universitas swasta kali ini. Aku bangga dan ingin segera mengakhiri semester kali ini agar bisa cepat kembali ke kampung halaman.

Hariku begitu sibuk, hingga terkadang aku lupa membaca surat dari Ayah yang kudapatkan dari Pak Pos. Aku semakin giat belajar walau terlintas di pikiranku tak pernah sedikit pun melupakan sosok Ayah.

Empat bulan telah berlalu, aku mendapatkan surat dari tetanggaku. Hal ini yang membuatku benar-benar tak paham.

…Ayahmu telah menjual kiosnya padaku demi melunasi uang SPP-mu. Kini ia berjualan keliling kue dadar. Aku khawatir dengan keadaannya yang seringkali memikirkan tentangmu yang tak mau membalas surat darinya. Jika kamu peduli, kembalilah. Ia pasti merindukanmu…

Aku kini paham dari mana Ayah mendapatkan uang untuk membayar SPP. Aku pun mulai bersedih, merasa tak tahu diri bahkan hanya untuk mengabarinya sepatah dua patah kata saja dirasa sulit.

Malam itu aku kembali ke desaku dengan uang yang tersisa dari hasil kerjaku di kantor percetakan. Sebelumnya aku lihat warungnya telah ditutup dan tertulis ´telah dijual´. Aku segera berlari ke rumah, ingin segera melihat kondisi Ayah dan meminta maaf atas sikapku selama ini.

“Ayah…” Kubuka pintu rumah yang tak terkunci. Terdengar suara batuk dari dalam kamarnya.

“Raka?”
“Maafkan aku, Ayah, yang tak mempedulikan surat Ayah dan kabar Ayah.” Aku menangis di pangkuan Ayah.


Mulai sekarang aku berjanji untuk selalu menjaga Ayah. Aku berencana akan mengajak Ayah untuk tinggal bersamaku di kota, tempatku berkuliah dan kini aku yang akan bekerja. Berkat beliau dan tangannya, aku kini bisa berkuliah dan memulai hidup baru di perkotaan. Dan akan kubuatkan dadar gulung kapanpun ia inginkan.

Komentar

Popular one!