Kado Terakhir untuk Sang Inspirasi (Cerpen)


“Anak Ibu sepertinya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan SD-nya
di sekolah kami. Para guru sudah menyerah menangani anak Ibu ini.“ Ibu wali kelas pun lekas pergi meninggalkan aku dan Ibu yang hanya duduk termenung meratapi seisi ruangan yang lembap itu, di sana tersisa pikiranku yang begitu rapuh dan sulitnya untuk diterka.

Entah apa benar aku ini terlalu menyedihkan karena impian ortuku yang berharap aku memasuki sekolah favorit di kota ini. Mungkin beginilah aku, sejak perceraian ortuku, hidupku perlahan berubah, aku tidak lagi bisa fokus belajar, pikiranku hanya main dan main, terkadang ingat akan sang ayah yang mungkin tidak lagi peduli denganku. Pelajaran-pelajaran yang kuterima di sekolah pun tidak lagi terserap baik dalam otakku, setiap hari yang kudengar pastinya berbagai ocehan merekah dari bibir para guru.
Kini hariku berangsur pudar, mengingat nilaiku yang turun secara drastis semenjak kejadian ini. Bermain di luar saat Ibu tak ada adalah pilihan terbaikku, di sana aku bisa meluapkan emosiku dan melupakan tugasku sebagai pelajar. Tapi itu tidak berlangsung lama, saat di rumah aku dihadapkan lagi oleh berbagai macam tugas yang memaksaku untuk menuruti permintaan Ibu dan guru-guru di sekolah. Uh, bencinya.
“Cika, ayo sini. Perkenalkan ini Ibu Ratna, ia yang akan mengajarimu berbagai macam mata pelajaran, kan sebentar lagi kamu bersekolah di tempat baru. Bagaimana? Kamu senang bukan?“ Ibu menyapaku di pagi ini saat aku memutuskan ingin bermain di luar.
“Ibu, Cika gak berniat sekolah lagi, Bu.“
Aku pun pergi saja meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Aku memilih untuk bergegas ke kamar dan menangis. Tak lama...
“Boleh saya masuk, dek?“ Terdengar suara seseorang dari luar kamarku.
“Silakan, gak dikunci kok.“ Jawabku sambil terisak-isak. Aku membiarkan wanita itu masuk.
Aku hanya bersikap cuek pada guru itu, ia mendekatiku namun aku hanya diam saja, tak mempedulikan. Ia bersikap ramah dan tersenyum padaku.
Ia memperlihatkan berbagai koleksi permainan yang ia ambil dari tas ransel hitamnya. Aku bingung saja dia tahu apa kesukaanku, apa mungkin dari mama? Ia menunjukkan berbagai kartu dan aku disuruh memilih.
“Kamu suka yang mana? “ Ibu Ratna menunjukkan lima kartu berwarna yang berisikan berbagai tokoh kartun. Tokoh kesukaanku adalah Doraemon, aku diam-diam mengambil dan tak mengatakannya, lalu Ibu Ratna berusaha menebak lewat kartu lain. Wah, dalam hitungan beberapa detik, ia berhasil menebak.
“Doraemon! “ Aku segera mengambilnya dan kutemukan di balik kartu itu ada berbagai pertanyaan yang menarik.
“Kalau kamu berhasil jawab, Ibu bakal kasih hadiah. “ Awalnya aku hanya malas menanggapi tapi ia tetap memberiku semangat, aku pun mencobanya walau aku sangat membenci matematika. Beberapa pertanyaan terselesaikan dalam waktu beberapa menit saja dan dari 5 soal, jawaban yang benar hanya dua.
“Ini hadiah buatmu yang bakal menjadi calon pintar matematika. “
Aku hanya tersenyum karena mendapatkan permen darinya. Sejak itu ia mulai terbiasa dengan sikapku yang kadang berubah-ubah tak menentu.
“Ibu kenapa bisa menyukai matematika?“ Tanyaku polos.
“Karena menarik dan menantang. Ayo mau bermain lagi?“
Aku mengangguk. Sejak itu aku tidak lagi membenci dengan namanya belajar, termasuk matematika. Waktu pun terasa singkat saat bersama Ibu Ratna. Bagaimanapun hariku terlalui dengan indah saat bersamanya. Perkalian, pembagian yang merupakan momok terberat bagiku kini sudah tidak lagi menjadi masalah besar. Seringkali ia mengajakku untuk bermain di taman sambil belajar mata pelajaran IPA. Sejak itu aku pun menyukai tanaman dan hewan kecil. Kuamati satu per satu dari kumbang hingga kupu-kupu.
“Kamu tahu ada beberapa kupu-kupu yang tidak makan? “ Bu Ratna mulai mengeluarkan pertanyaan barunya.
“Wah gak makan, nanti dia dapat energi dari mana? “
“Mereka ga punya mulut, jadi mereka mengumpulkan energi selama mereka berkembang menjadi kepompong. “
Aku bertepuk tangan mendengar penjelasannya. Hari itu kami berkunjung ke danau di sekitar rumahnya dan sejuknya membuat aku tak ingin pulang ke rumah... Hari tak terasa telah berlalu kian cepatnya..
Esok harinya, aku sedikit sedih saat Ibu Ratna tak masuk tepatnya saat aku ingin memberikannya kado ultah berupa cokelat dan boneka beruang kecil. Hari itu mama menyuruhku belajar sendiri setelah pulang dari sekolah. Tapi benar-benar membosankan saat belajar sendiri, pikiranku ke mana-mana.
“Ma, Ibu Ratna pergi kok gak bilang-bilang sama aku yah?“
“Dia sibuk dengan urusan ayahnya yang sedang sakit. Kamu belajar dulu di rumah ya, nanti mama pulang cepat, ada rapat sebentar di kantor.“ Mama mengecup keningku.
Aku yang dulu biasanya suka bermain di luar, kini berubah. Aku mulai membiasakan diri untuk disiplin belajar dan tidak menyia-nyiakan tiap waktu untuk selalu membaca buku saat Bu Ratna tak ada. Dengan giat aku mulai membuka perpustakaan kecil di dekat kamarku yang mungkin sudah lama tak pernah terjamahi. Lalu teringat oleh sejarah-sejarah yang perna diceritakan oleh Ibu Ratna hingga kini tak pernah melupakannya. Kutarik sebuah buku pengetahuan yang menceritakan sejarah Yunani. Ini sangat menarik untuk ditelaah, batinku. Aku pun terbawa arus untuk membacanya hingga lupa waktu telah sore.
Mama pun pulang dan melihatku di balik perpustakaan itu.
“Ma, sudah kembali?“ Aku melihat mama mengintip di balik tirai kamar perpustakaan. Kulihat mama mengusap air matanya.
“Mama kenapa? Aku salah apa? “ Aku merasa khawatir.
Mama pun langsung datang memelukku.
“Terima kasih ya, Nak, akhirnya kamu bisa berubah lebih baik sejak mengenal Bu Ratna. Mama mau kamu seperti ini selamanya. “ Mama terisak-isak.
“Iya, aku janji, Ma. “
Aku memang sadar tidak sebaiknya aku lari dari masalah, masa lalu, dan rasa sakit karena ditinggal Ayah tersayang. Ibu Ratna telah membawaku ke perubahan lebih baik dan mengenal dunia luar.
“Ma, aku mau menunggu Ibu Ratna kembali, mudah-mudahan cepat deh jadi aku bisa kasih kado ke dia deh. “
Seminggu pun berlalu, semangatku mulai menurun, entah kenapa aku sangat merindukannya, caranya memanjakanku, mengajariku belajar, dan semuanya. Tiba-tiba mama memberiku kabar kalau Ibu Ratna dirawat di rumah sakit akibat tabrakan saat ia kembali dari kampung halamannya. Mamaku segera mengajakku berkunjung dan kulihat dirinya terebah di atas tempat tidur berlapiskan kain putih itu. Mama berusaha menenangkanku yang menangis tak henti.
“Bu, jangan tinggalin Cika, Cika sayang Ibu. Ini Cika bawakan cokelat loh sama boneka biar Ibu cepat pulih. “
Namun sayang nyawa Ibu Ratna tak bisa tertolong, ia pun harus pergi untuk selamanya. Aku tak tahu harus berbuat apa, padahal banyak hal yang ingin kulakukan setelah ia kembali dari kampung halamannya. Aku hanya berusaha tegar dan mulai saat ini percaya kalau diriku bisa membuktikan lebih baik seperti yang diajarkan oleh Ibu Ratna. Di meja belajarku kupajang kado yang awalnya ingin kuberikan kepadanya namun belum tersmpaikan. Aku pun mulai giat belajar saat melihat kado itu dan berhasil mendapatkan peringkat satu yang itu merupakan hal paling membanggakan dalam hidupku, kini aku berhasil memasuki SMP favorit di luar kota.
Terima kasih, Bu, telah memberiku impian yang pasti dan lembaran yang indah saat bersamamu dulu.. Berkatmu, aku menjadi pribadi yang bermakna..

BIODATA :
Saya Beatrix Intan Cendana, lahir di Jakarta, 23 Agustus 1995, menyukai dunia literasi sejak SMP. Awalnya menulis diary tentang diri saya, menyebarkan cerita melalui blog lalu mengirimkan cerpen, puisi, maupun novel ke berbagai penerbit. Cerpen yang pernah saya buat seperti Si Kecil di Balik Jendela, Pelangi Cinta, dan sebagainya. Semoga tulisan saya bisa menginspirasi banyak orang.
Blog: beatrixcendana.blogspot.com,
E-Mail : etic.cendana@gmail.com
HP : 085885235386


Komentar

Popular one!