Si Kecil di Balik Jendela (Cerpen)

  Aku mengenal diriku tanpa batas karena ku merasa kesempurnaan menutup segalanya. Aku adalah seorang mahasiswi ilmu komunikasi dan cita-citaku adalah menjadi seorang presenter yang terkenal, bahkan satu hal lagi yang membuatku kuat adalah memiliki keluarga yang begitu kusayangi. Selain itu, duniaku juga tak luput dari dunia musik yang berasal dari keturunan ayah dan paman yang merupakan pemain biola terkenal di saat itu. Saking sibuknya aku pun tak pernah mengenal lingkungan sekitarku hingga suatu hari kutemukan jati diriku bersama seorang anak kecil yang misterius. Ia mengubah segalanya tentang obsesi dan kesempurnaan...



  Hari ini entah mengapa aku bisa terbangun begitu paginya hingga aku mungkin akan sedikit membuat kegaduhan di rumah.

  Pagi sekali aku sudah berada di dapur hanya untuk mengambil roti gandum yang sedikit kuolesi selai cokelat kesukaanku. Terkadang aku tak mengerti bahwa semua pekerjaan di dapur tak pernah akan beres saat aku yang melakukannya. Setelah selesai memoles roti biasanya aku hanya melemparkan pisau roti itu di atas bak cuci piring tanpa berpikir untuk merapikannya kembali. Inilah kebiasaanku setelah makan roti. Tapi kali ini tidak. Sebelum aku melemparkan pisau itu, kulihat dari sudut pandang jauh, sorot mata seorang anak kecil yang seakan memperhatikanku dari jendela kamarnya. Kebetulan jendela dapurku berhadapan langsung dengan apartemen sebelah rumahku. Aku sedikit terkejut lalu segera kutarik horden yang berlapiskan warna merah itu. Kuharap ia tak bisa melihat gerak-gerikku saat ini. Aku begitu malu jika ia tahu kebiasaanku tiap pagi seperti ini.

  Segera kulihat jam dinding menunjukkan pukul 06:30. Aku berpikir ingin cepat menghabiskan roti lalu membereskan diri, dan pergi mengayuh sepeda untuk mengantarkan kue titipan mama ke tempat bibi yang letaknya di ujung jalan dekat universitasku. Suasana rumah bibi begitu membuatku nyaman makanya aku senang jika mama menyuruhku pagi-pagi untuk mengunjungi rumah bibi. Di sana aku bisa memainkan biola tua milik mendiang suaminya walau sedikit lusuh tapi aku tetap menyukainya. Bibi sangat berharap aku membawa pulang biola itu tapi aku tak ingin karena aku tahu bibi pasti akan sangat mengenang suaminya lewat biola itu.

  Aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk segera tiba di rumah bibi. Sebelumnya aku meminta izin pada ibu untuk berangkat. Ibu hanya mengiyakan saja dan tetap mengurusi kuenya yang dari tadi ia panggang. Aku pun pergi ke garasi lalu mengambil sepeda kesayanganku lalu dengan semangat tinggi kukayuh secepat mungkin. Tak lama aku pun merasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada ban sepedaku, aku terjatuh. Ternyata aku lupa memeriksa ban sepedaku hari ini.

   Kulihat seorang anak kecil sudah berada di depanku dan ia mngulurkan tangannya tanpa banyak bicara.

   "Oh tak apa." Ku hanya menjawab demikian tapi sepertinya aku pernah melihat tatapan matanya seperti tatapan mata yang pernah kulihat pagi tadi saat ia memperhatikanku.

  Anak itu menunjukkan simpatinya dengan membangunkanku dan sepedaku. Ia tak bicara dan hanya diam saja. Aku pun penasaran siapa sebenarnya ia ini lalu kutanyakan namanya. Ia hanya tersenyum lalu menunjukkan tempat duduk yang tak jauh dari tempat aku jatuh. Aku ikuti saja langkahnya menuju ke tempat itu tanpa mengerti maksud anak ini. Ia pun mengambil saputangan dan sedikit air di pancuran dekat tempat duduk itu. Ia meletakkan saputangannya di lututku yang terluka.

   "Aw.. Sakit.. Maaf, boleh tahu namamu siapa? Dari tadi kau tidak menjawab pertanyaanku."

   Ia hanya menunjukkan bahasa isyarat dan aku paham kalau ternyata ia bisu. Lalu ia mengeluarkan alat tulisnya berupa catatan kecil dan pena lalu dituliskannya secara rapi,

       Namaku Andy, aku tinggal di apartemen sebelah rumah kakak. Maaf ya kak atas keterbatasan saya ini.

   Aku memakluminya, ia berniat membawa sepedaku ke bengkel. Setelah itu ia pun pamit. Aku sangat berterima kasih padanya. Aku berjanji padanya nanti malam akan mengembalikan saputangan yang ia pakaikan ke lututku.

  Hanya butuh waktu 2 menit untuk mengisi angin pada banku kemudian aku melanjutkan perjalananku ke rumah bibi. Bibi begitu antusiasnya menyambutku untuk segera masuk ke rumahnya lalu bibi memberikanku biola tua itu. Kue yang kubawa aku letakkan di atas meja ruang tamunya.

   "Pakailah biola ini untuk menghibur hatimu, entah senang ataupun sedih. Seandainya nanti kamu sudah cukup ahli dalam menghibur hatimu, cobalah menghibur orang lain dengan suara biola tua ini. Biarlah mereka mendengar setiap gesekan melodi ini. Bibi sudah merasa lega memiliki biola ini setelah kepergian paman. Ingin rasanya bibi berbagi apa yang bibi punya agar bukan hanya bibi yang merasakan."

  Aku hanya mengangguk padahal sudah berulang kali kubilang bahwa aku tak ingin menggangu biola bibi. Aku hanya bermain saat aku berkunjung ke rumah bibi saja tapi ya sudah, mungkin bibi ingin meneruskan kepintaran paman dan juga ayahku kepada generasi berikutnya.

  "Bibi sangat bahagia kamu bisa memiliki biola ini. Ajaklah ayahmu bermain saat pulang nanti."

  Sebenarnya dari awal ayah ingin sekali membelikanku biola sejak kepergian paman. Ayah merasa sepi saat tak ada lagi orang yang bisa diajaknya berduet, ia berharap aku menjadi penerusnya. Tapi aku menolak dengan alasan belum ada waktu untuk latihan dan juga jadwalku begitu sibuk di luar dunia musik.

  Aku pun kembali dengan girang. Rasa terima kasihku pada anak kecil itu dan juga bibi membuatku paham aku harus menghargai setiap keinginan orang terhadapku. Aku pun tiba di rumah dengan perasaan tak tentu. Segera kubuka kotak biola itu namun sebelumnya kugesekkan tongkat bow penggesek itu dengan rosin agar suaranya makin nyaring. Perlahan kumainkan setiap senar dengan sebuah lagu A Thousand Years. Suaranya memang membuat hatiku tergugah. Lalu teringat olehku malam ini aku harus mengembalikan saputangan. Kucuci saputangan itu dan kukeringkan dengan hair dryer begitu juga kuprhatikan lutut kakiku yang sudah sedikit membaik, tak lupa aku memberi obat luka agar cepat kering.

  Malamnya...aku bertemu dengan anak itu lalu kuberikan saputangan itu. Untung saja waktu itu belum terlalu malam dan dia mengajakku ke balkon atas apartemennya. Dia bercerita dengan gerak geriknya yang mulai sedikit-sedikit kupahami walau kadang tak mengerti seluruhnya namun akhirnya kusimpulkan bahwa ia pun suka musik dan ia ingin sekolah musik namun karena keterbatasan ekonomi membuat anak ini harus mematahkan impiannya,ia sedikit memperlihatkan buju diary yang ia punya. Ia pun saat ini terus mencari tahu bahkan ingin mencari beasiswa yang akan membuatnya berhasil diterima di sekolah musik. Tapi kenyataannya berbalik. Ia gagal bahkan tak tahu harus berbuat apa. Setiap hari hanyalah berada di kamar dan mengurung diri di dekat jendela sambil menatapi orang-orang lalu lalang. Ibunya hanya memberikan ia pekerjaan untuk mengantarkan orderan pizza ke setiap pelanggan yang memesan via telepon. Saat ini ia mencari kesempatan untuk mendatangi rumah seorang pemain musik yang kebetulan sering memesan makanan pada ibunya sambil belajar apa yang ia lihat di sana.
 
  Pemusik itu senang memainkan pianonya lalu menyuruh Andy mencobanya. Andy cukup pandai memainkan tiap tuts piano walau jarang latihan, jiwanya begitu mendalami tiap tuts yang ia tekan. Saat ini yang ia inginkan ialah belajar biola yang merupakan syarat agar ia bisa berhasil diseleksi masuk beasiswa musik. Aku sangat berharap bisa membantunya mewujudkan impian itu.

  "Baiklah, malam ini saya akan memainkan biola untukmu. Aku akan mengambilnya. Kamu tunggu sebentar di sini."

  Ia hanya mengangguk. Aku pun segera berlari menuju ke kamarku dan kuambil biola itu beserta buku-buku not yang rencananya akan kupinjamkan padanya.

  "Ini buatmu. Aku akan mengajarimu malam ini. Besok malam setelah aku pulang kuliah, kita berjumpa. Kau harus sudah bisa dasar yang kuberikan ini. Biola ini kau bisa bawa dulu tapi ingat besok malam kau harus sudah bisa."

  Selama seminggu aku pergi ke apartemennya hanya untuk memberikan kursus khusus biola. Aku merasa ia banyak mengalami kemajuan dan aku tidak susah untuk memberikannya ilmu musik karena dari dasarnya dunia musik sudah melekat dalam hidupnya. Aku tak ingin ia terus melamun di balik jendela itu tanpa arti. Bagiku cukup ia tahu bahwa ia bisa meraih apa yang ia mau. Kubantu ia meraih impiannya dengan mengambil sekolah musik. Berkali-kali ditolak karena alasan yang aneh. Hanya karena lagu yang ia mainkan kurang jelas. Ku tetap beri ia semangat. Aku pun memberi ia saran untuk memainkan lagu I Won`t Give Up. Syukurlah, kali ini ia diterima karena usahanya yang begitu tinggi untuk segera meraih apa yang ia inginkan. Ia juga berjanji setelah lulus dari sekolah musik, ia akan melanjutkan perguruan tinggi ke luar kota. Impiannya begitu tinggi hingga suatu saat ia selalu memberiku semangat karena tak lama lagi aku akan meninggalkan kota ini. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku lalu menerima kontrak pekerjaan di kota lain.

  Jujur aku sangat sedih karena mungkin tak bisa mengajarinya lagi biola tapi aku cukup bangga dari apa yang kupunya, aku bisa berbagi. Bukan hanya peduli dengan kesempurnaan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Sebelum pergi ke luar kota, aku pun membelikannya biola baru agar ia tak lupa dengan pelajaran yang kukasih. Sedangkan biola tua itu aku bawa saat aku pergi ke luar kota dan setiap hari tak pernah lupa untuk latihan seperti yang diingatkan oleh Andy setidaknya 15 menit latihan musik untuk menaikkan mood. Tak lupa juga ia memberikanku kenangan berupa gantungan kunci yang berbentuk biola.

  Terima kasih sudah mengajariku banyak hal walau tak terlihat. Setidaknya masing-masing dari kita selalu berusaha mngajari hal terbaik untuk orang lain, berbagi walau sedikit, tidak hanya terobsesi oleh mimpi tanpa peduli siapa yang ada di belakang kita dan mungkin saat itu ia membutuhkan kita layaknya sebelum sukses kita juga membutuhkan orang lain untuk mendengarkan kita.

Sabtu, 3 Jan 2015
Salam kebahagiaan
Selamat membaca^^


Link Foto : sources from internet

Komentar

Popular one!