Sebuah Kesempurnaan*CERPEN

"Sebuah Kesempurnaan”
            Berawal dari karet kumulai kisahku dan mungkin kisah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku terlahir sebagai gadis yang ceria dan selalu dinamis. Namun kebahagiaanku terenggut saat mengetahui fisikku yang tak seperti teman lainnya, bisa belajar, bermain, dan memanfaatkan waktu untuk hal yang berguna.

            Satu hal ini terkadang membuatku menjadi pesimis sekana takkan ada lagi harapan buatku. Polio telah membuat aku tak bisa berjalan layaknya orang biasa bahkan untuk bermain pun aku sulit. Teman-teman kadang juga mencemoohku karena keadaanku seperti ini. Ingin rasanya aku tumbuh seperti mereka yang normal namun apa daya, aku harus menerima keadaan seperti ini.

            “Yuk, main karet, Lisa. Kok kamu hanya berada di sini?”

            “Iya, aku malu, ga bisa bermain karet.”

            “Tak apa. Sini aku ajari. Kita bermain berdua saja. Aku punya karet lebih nih.”

            Untungnya masih ada teman yang peduli denganku walau keadaanku tak memungkinkan. Reaksiku hanya diam saja saat Cindy terus membujukku agar bermain juga. Ia berharap agar aku mengiyakan ajakkannya. Untuk pertama kalinya, kusuruh Cindy mencoba terlebih dahulu gaya gerakannya lalu perlahan kuikuti. Aku cukup tertantang untuk kesekian kalinya mencoba hal ini karena tak peduli lagi luka yang ada pada lututku akibat seringnya terjatuh di tanah karena tak mampu menyeimbangkan kakiku. Cindy menasehatiku agar aku pulang dan segera membasuh lukaku agar tak terjadi infeksi. Namun aku tetap saja enggan dan tetap mencoba semua gaya yang ada permainan karet itu.

            “Satu..dua…tiga..Ouch!” Aku meringis kesakitan.

            “Lisa, ayo bangun! Nanti berusaha lagi yah. Jangan sedih. Kamu bisa mencobanya lagi di rumah setelah lukamu sembuh.”

            “Tapi aku takut ibu akan marah melihat aku terluka lalu tak memberiku kesempatan bermain  karet lagi.”

            “Ya sudah, aku antarkan kamu pulang yah.”

            “Ups, jangan. Nanti ibu marah kepadamu. Biarkan aku pulang sendiri. Makasih ya sudah ajak aku bermain bersamamu hari ini. Cukup menyenangkan..” Jawabku sambil membasuh air mata.

            Cindy pun mengiyakan jawabanku sambil tersenyum. Lalu aku pun melanjutkan misiku agar segera kembali sampai ke rumah. Kulihat dari kejauhan ibu menungguku di luar rumah.

            “Ibu, maafkan aku. Lututku terluka…...” Ucapku sambil menundukkan kepala.

            “Ibu tahu, kamu pasti jatuh kan? Sini dibersihkan dulu.”  Ibu pun mengajakku masuk dan mengambil obat luka untukku.

            “Ibu… Ta..di.. aku.. bermain karet dan jatuh berkali-kali.” Jawabku polos.

            “Kan sudah ibu bilang berkali-kali, tolong jangan buat onar lagi. Kamu harus tahu keadaanmu saat ini.” Jawab ibu dengan nada tegas.

            Aku pun terdiam dan menuju ke kamar.

            Malamnya…
            “Nak, ayo makan malam dulu. Jangan di kamar saja.”

            “Sudah kenyang, Bu.” Jawabku dari kamar.

            Karena khawatir dengan aku, ibu pun masuk ke kamar dan melihat aku sedang melamun.

            “Kenapa, Nak? Maafkan ibu yah, tadi membentakmu seakan tak mengizinkan kamu bermain lagi. Ibu hanya khawatir denganmu dan tak bermaksud apa-apa.”

            “Oh iya tak apa, Bu. Maklum kondisi Lisa seperti ini dan harus disadari juga. Lisa yang seharusnya minta maaf dan janji takkan bermain karet dengan mereka lagi. Sudah tahu tak bisa, masih mau dicoba. Lisa malu karena teman Lisa semua jago main karet sedangkan Lisa hanya duduk di pojokan melihat mereka main.”

            Ibu hanya menangis dan memelukku.
            “Suatu saat Ibu yakin kamu pasti bisa melakukan hal yang kamu mau karena kamu punya harapan dan doa ibu selalu untukmu, Nak.”

            Aku pun tak mampu berbicara apa-apa. Di pikiran ini hanya pesimis yang terus menghantuiku. Tapi aku pun menuruti permintaan ibuku untuk bergabung makan dengan ibu dan ayah.

            “Nak, Ayah mau ajak kamu makan bareng. Kamu kenapa kelihatan sedih?” Ayah terkejut saat melihat perubahan wajahku yang biasanya ceria tapi kini berubah murung.
            “Aku malu, Yah. Kenapa aku tak sempurna?”
            “Duduklah sini. Ayah ingin sejenak mengingatkanmu suatu hal.”
            Aku pun mengikuti permintaan ayah.
            “Kamu sempurna. Kamu punya mimpi dan harapan, bukankah itu cukup?”
            “Maksud Ayah?”
            “Kesempurnaan bukan diukur berdasarkan fisik tapi berdasarkan hati dan pikiran. Hatimu bersikap optimis artinya kamu takkan mempedulikan kata-kata orang tentang dirimu. Itu hanya ilusi dari dirimu bahwa dirimu tak sempurna. Cobalah buka pikiranmu.”
            Aku hanya terdiam dan lalu kembali tersenyum menatap ayah. Lalu mendekatinya.
            “Makasih, Ayah. Muach.”
            “Lisa, makan dulu. Lho, mau ke mana dia?”
            “Sudahlah, biarkan saja. Mungkin dia mau merenung sejenak.” Ibu mendekati ayah dan menenangkan ayah.

            Aku pun berjalan perlahan menuju ke jendela kamarku. Tak sadar ada sepucuk kertas jatuh di dekat kakiku.
            Aku adalah bagian dari mimpi dan aku bangga diriku telah sempurna dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku….

            Ternyata kertas itu bertuliskan kata-kata yang dulu pernah aku tulis dan aku hampir melupakannya. Aku cukup tenang saat membaca kata-kata itu lalu aku pun tidak sedih lagi.

                        -----------------------------------------------------------------------
BAGIAN 2
            “Anak-anak, kalian harus sudah mulai fokus ujian yah.. Dua bulan lagi itu tak lama. Persiapkan diri kalian baik-baik.” Ibu guru menjelaskan ke kita semua.

            Kita semua pun gelisah termasuk diriku. Tapi aku yakin aku bisa mendapatkan nilai yang terbaik atas hasil usahaku. Saat itu aku mulai bertekad untuk focus ke ujian nasional yang tak lama lagi akan dilaksanakan. Aku mulai merencanakan belajar bersama dengan teman-teman lainnya karena bagiku dua bulan merupakan waktu yang sempit.

            Sepulang sekolah, aku pun bergegas menuju ke rumah namun apa yang kulihat di sebuah gedung yang dilindungi kaca membuat pikiranku berubah untuk tidak cepat sampai di rumah. Kulihat seseorang yang begitu lemah gemulainya menarikan tarian yang bagiku asing karena sejak lama aku mengimpikan bisa menari di sebuah panggung yang begitu luas dan sayangnya fisik ini tak bisa disangkal keadaannya.

            Aku pulang dengan perasaan tak tentu.
            Bagaimana aku bisa bergerak bebas jika aku seperti ini?
Tanyaku terus dalam hati.

Dua bulan kemudian…
            Ujian pun berakhir sudah. Aku berhasil meraih peringkat satu untuk UAN tahun ini di kotaku sehingga aku berhasil masuk ke SMA favoritku. Aku pun mengelilingi sepenjuru ruangan hingga tiba pada suatu ruangan yang seakan tak asing lagi. Inikah ruangan yang pernah kukunjungi sebelumnya?
Ternyata ya, ruangan tersebut begitu luas dan kucoba memasukinya.Aku pun mencoba mengikuti gerakan tubuh yang pernah ditampilkan wanita itu di gedung ini. Aku terus saja bergerak mengikuti arah lapangan tanpa mempedulikan sekitarku. Tak lama, ada seseorang yang memberiku tepuk tangan seiring aku kelelahan dan menghentikan gerakanku.

            “Bagus.. Gerakan yang indah. Perkenalkan namaku Regan dan aku asisten ibu Shinta, guru seni di tempat kursus ini.” Ucap dia sambil mengulurkan tangannya.

            “Aku Lisa, maaf aku memakai ruangan ini tadi.” Jawabku tersipu malu.

            “Iya, tak apa. Oh iya, aku ada kabar baik nih. Kebetulan kamu suka balet kan? Kamu bisa latihan dengan ibu Shinta dan aku akan memberitahukan kepadanya agar kamu juga diberi kesempatan untuk mengikuti perlombaan dalam pengisian acara ulang tahun tempat kursus ini bulan Desember nanti. Kamu mau?”

            Aku hanya mengangguk. Menurutku ini adalah kesempatan besar menunjukkan bakat aku yang selama ini terpendam.

            “Baiklah, lihat nanti yah.”

            “Oh ya soal peralatan kamu sebaiknya bawa sendiri yah. Soalnya pihak kami tidak menyediakan  baju dan sepatunya.”

            “Untuk soal ini, aku harus bertanya sama ibuku dulu.”

            “Baiklah, ini kesempatanmu loh. Aku tunggu. Kutinggalkan nomor telepon ini padamu.”

           
           “Ibu, setujukah jika aku mengikuti lomba balet? Tapi maaf bu…”
            “Maaf kenapa?”
            “Aku harus punya baju balet dan sepatunya. Menurut ibu aku harus gimana?”
            “Kamu tak usah ikut hal itu.” Ibu lalu meninggalkanku. Aku tak mengerti apakah ibu marah atau tidak.
            Tak lama kudengar suara keras seperti suaranya ayah. Aku pun keluar dan mengintip kejadian yang terjadi.
            “Ibu, tak seharusnya melarang anak kita buat berkreasi.”
            “Ibu tak melarang tapi kita tak mempunyai uang yang cukup untuk membelikan ia pakaian mewah seperti itu lagian juga keadaannya demikian membuat Ibu khawatir, Yah.”

            Ayah pun pergi tanpa menghiraukan Ibu. Hal ini membuatku tersadar bahwa tak sepantasnya aku mengikuti acara ini walau aku menyukainya. Untuk makan saja, ibuku harus bekerja mati-matian mencari jagung agar kami tetap hidup sedangkan ayah bekerja sebagai petani. Tapi aku yakin aku harus bisa meraih impianku dengan melakukan apapun dengan cara yang baik.

            Kadang aku terpikirkan untuk membantu orang tuaku dalam meringankan tugas mereka. Apakah sebaiknya aku membantu mereka dengan bekerja daripada aku mengikuti les balet itu?


BAGIAN 3
            Aku pun  mulai mencari pekerjaan yang cocok untukku. Untungnya sahabatku, Cindy mau membantu.

            “Pekerjaan apa yang kamu inginkan?” Cindy bertanya.
            “Apa saja asal bisa membantu ortuku dan aku bisa mewujudkan mimpiku.”
            “Okelah, besok siang kamu datang ke tempatku dan akan kutunjukkan pekerjaan apa yang cocok untukmu.”

            Aku benar-benar sangat berterima kasih kepada Cindy karena sudah banyak membantuku dalam berbagai hal. Mungkin suatu saat aku akan membalas kebaikannya walau tak seberapa.

            Esok harinya dengan riang aku kembali dari sekolah dan segera menuju ke rumah Cindy. Kulihat Cindy sudah menunggu di depan rumah.

            “Ayo, sudah siap? Kita berangkat!” Ajak Cindy dengan penuh semangatnya.
            “Iya, aku udah semangat sekali nih. Kira-kira pekerjaan apa yah?”
            “Aku yakin pasti kamu suka.”

            Dia pun langsung menarik tanganku dan setelah 15 menit berjalan kami tiba di depan sebuah gubuk kecil.

            “Kamu yakin di sini?” Tanyaku dengan risau.
            “Iyah, tuh kamu lihat. Banyak orang yang bekerja kan? Sini, kuantarkan kamu ke Ibu Shinta.”
            Lalu..
            “Ibu, aku Cindy. Bu, apa kabar? Ini loh maksudnya teman yang mau bekerja. Tolong bantu dia yah, Bu.”
            “Wah, kabar ibu baik. Hmm sepertinya saya melihat kamu ada di tempat kursus saya beberapa hari yang lalu dan saat itu yang menyapamu adalah Regan.”
            “Bagus dong kalau ibu sudah mengenalnya. Dia anaknya baik kok dan serius mau bekerja, yak an, Lisa?”
            “Umm..i..ya…Bu. Saya siap bekerja di sini.” Jawab Lisa dengan kaku.
            “Kamu harus bersiap agak sedikit letih ya? Soalnya pekerjaan di sini adalah merancang rajutan dan ide itu lumayan sulit untuk digali.”
            “Oh tak apa, Bu. Jadi ini Ibu Shinta yang diceritakan kak Regan kemarin yah?”
            “Iya, dia asisten ibu. Kebetulan Ibu tak hanya punya tempat kursus balet, tapi juga bisnis menjual rajutan.”
            “Maaf, Bu. Cindy duluan yah soalnya mau les. Tolong ajari dia yah, Bu.” Cindy pun melesat pergi.


            Ibu Shinta ternyata sangatlah baik. Ia bahkan tak pernah bosan mengajariku menggali ide dengan mudah. Ibu Shinta diam-diam menjelaskan padaku bahwa Cindy sangat ingin ibu Shinta mengajariku banyak hal termasuk mewujudkan mimpiku.... Mimpi apakah? Sebagai penari? Betapa baiknya Cindy. Aku tidak tahu harus berterima kasih seperti apa untuknya.

            “Yang pertama, kamu harus sabar dan teliti.”

            Aku terus mengikuti petunjuk yang diajarkannya namun terkadang aku mulai kebingungan saat tak mampu menemukan rantai yang pas dalam karya rajutanku dan akhirnya ini pun bisa teratasi karena rajinnya aku latihan.

Setiap hari setelah pulang sekolah aku selalu minta izin kepada ibu untuk menyelesaikan rajutanku . Mungkin pada awalnya ibu masih meragukan kemampuanku tapiaku bisa membuktikannya walau harus merelakan waktu istirahat malamku hanya untuk menyelesaikan rajutan dalam waktu yang ditentukan. Aku sudah berjanji pada ibuku, takkan lalai dalam tugas di sekolah meski sekarang sudah bekerja. Setengah dari uang yang kudapatkan telah kuberikan pada ibuku dan sisanya kutabung untuk uang sekolahku per bulan.

“Kamu mau ikut kursus ibu? Kamu tidak perlu bayar dan semua perlengkapan balet akan ibu persiapkan. Coba tanyakan pada ibumu.” Tiba-tiba di sela waktu senggang Ibu Shinta menanyakan hal itu padaku.

“Aku mau, tapi..tetap tak enak jika aku tak membeli sendiri perlengkapannya. Aku tak mau merepotkan ibu. Ibu sudah banyak memberikan saya bekal dan dirasa cukup jika terus membebani ibu.”

“Tak apa. Saya senang memiliki murid sepertimu. Mungkin suatu saat saya akan mengangkatmu menjadi asisten saya.”

“Terima kasih banyak, Bu.” Kami berdua pun saling berpelukan dan aku sangat terharu akan jasanya padaku.

“Hari ini aku akan mengikuti lomba balet di gedung dekat sekolah kita.”
            “Wah, kok baru kasihtahu sekarang sih?” Cindy mencibir.
            “Maaf, aku sibuk beberapa hari ini. Kamu mau datang kan?”
            “Pasti dong. Jam berapa?”
            “Jam 8 malam yah. Ayah ibuku juga datang loh. Oh ya ini aduh hampir lupa. Ini ada hadiah buatmu. Topi rajutan dengan warna kesayanganmu. Dipakai yah.”
            “Makasih yah sayang. Tunggu aku yah.”

            Betapa bahagianya aku di saat banyak orang yang kusayangi menyaksikan lomba ini dan saat melihat aku menapakkan kaki di atas panggung dan mengikuti irama sambil bergerak dengan lembutnya dan mulai kuingat perjuangan masa kecilku dengan bermain karet dan berkali-kali gagal namun pikiranku membangkitkannya.

            Hatiku terus bergetar saat musik klasik mengiringi langkahku dan 20 menit aku berada di atas panggung dan terus diiringi tepukan yang meriah.

            Saat itu semua dewan juri menuju ke arahku dan memberi sambutan luar biasa setelah tarianku selesai. Betapa bahagianya aku saat orang tuaku memelukku dan memberi selamat kepadaku. Mimpi yang tak bisa kubayangkan akhirnya terwujud hanya lewat sebuah hal kecil dan harapan. Terima kasih buat inspiratorku, ortu, sahabat, pengajarku, dan semua orang yang selalu mendukungku setiap saat.

            Aku merasa sempurna saat bisa mengubah hal kecil dari kelemahanku menjadi kenyataan terbesar dalam hidupku bahwa aku bisa dan mampu.^^

                                                                                                           
Maaf sebelumnya , awalnya karya ini saya masukkan sebagai karya dalam perlombaan cerpen saya di Bulan Bahasa. Semoga bisa menginspirasi kalian semua. 
            Beatrix Intan Cendana Putri

                                                                                                                       Written: 29 Oktober 2014
                                                                                                                        Edited : 7 Januari 2015
Salam dunia membaca!!

Komentar

Popular one!